SHARE

Hampir tidak ada element of surprise (kejutan-kejutan) ketika partai-partai koalisi mengumumkan pasangan calon Calon Presiden-Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres), kita menunggunya tapi kok hanya sekedar kelaziman politik hingar-bingar.

Namun diingat, aspek lingkungan organik-biologis ini, instrumen yang dapat meregenerasi situasi kolektif yang dapat menempa dan melahirkan kecerdasan organik yang bahkan bisa melebihi kecerdasan gen (subjek) politiknya. Meski dari nol, metamorfosis organis bisa jauh lebih matang tumbuh daripada institusinya.

Sentuhan tangan, rekaman succes story, dokumen pengalaman historiografi gennya yang mendesain, memberikan energi dan mematangkannya secara organik. Seperti tukang pandai besi yang menempa dan merakit kepingan-kepingan baja kemudian menjadi sesuatu yang pakem, berfaedah bagi hajat hidup yang lebih besar. Untuk itu organik-biologis modal yang paling dasar pemimpin politik memiliki visi kepemimpinan, selain syarat tambahan lainnya.

Sementara lain masih hingga saat ini praksis tampak tak terasa memberikan resolusi-resolusi, artikulasi narasi-narasi kebaruan terkait programatik alternatif. Mengapa begitu? Paling tidak alasan-alasannya yang bisa ditebak, karena lebih ingin selaras dengan patahan tradisi kekuasaan yang ada, memilih tampil aman lanjutkan semprunakan “jalan ditempat”, berkilah tidak mau cawe-cawe join kebaruan dan hanya ingin meneruskan kesinambungan pembangunan.

Menjaga perasaan relasi patron, ragu (takut kehilangan) subkontrak politik sehingga tidak mungkin berani melakukan koreksi apalagi menggemakan antitesa. Tidak tersandera, minimal bijaksana menjaga sirkulasi kepemimpinan, menambal segala kekurangan dari pilihan kebijakan pemerintah sebelumnya. Tetapi bukan berarti tak punya tekad inovasi, bukan?

Lagi pula mustahil sebuah rezim bisa sempurna kerja melunasi semua janji-janji politiknya sehingga pembangunan hebat, pasti terdapat bolong-bolong ketidaksempurnaan. Dan bisa saja salah kaprah, cenderung egois, bahkan terbilang buta sejarah tidak memahami orientasi pembangunan nasional. Kemudian membuat kebijakan yang kontra produktif hanya karena ingin dikesankan hebat, menggap hanya dirinya yang memiliki sense of belonging kekuasaan penuh.

Halaman :
Tags
SHARE