Sementara itu, akademisi Universitas Brawijaya, Fadillah Putra yang hadir dalam kegiatan ini mengatakan Indeks Kesejahteraan Sosial seperti pedang bermata dua. Sisi positifnya bisa menjadi alat ukur. Tapi sisi lainnya, malah menjadi beban tambahan pekerjaan baru.
"Yang tidak enak, mereka lebih sibuk, menguras energi untuk memenuhi kebutuhan data daripada kesejahteraan," katanya.
Ia menekankan spirit yang diperlukan seharusnya bagaimana membangun ekonomi masyarakat dan mengeksekusi semua program kesejahteraan sosial. Sehingga, indeksasi jangan jadi pekerjaan baru.
"Ini coba kita formulasikan. Kita berusaha sekeras mungkin agar data sekunder indeksasi yang sudah ada bisa secara maksimal kita gunakan, kita tarik data itu untuk direpresentasikan," katanya.
Ia menganalogikan kesejahteraan sosial dengan salad dan dressing. Masyarakat dianalogikan sebagai salad dan dressing sebagai anggaran pembangunan. "Kita harus pastikan semua saosnya bisa menetes sampai ke salad paling bawah. Sejahtera itu ketika dressing pembangunan bisa menetes ke salad terbawah," katanya.
Ia ingin ada perubahan perilaku dari pemerintah daerah. Misalnya, saat ada investor datang ke daerah, harus ada jaminan investasi bisa memberikan dampak langsung terhadap kemiskinan. "Dalam inklusif growth, pemerintah harus memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi yang terkait langsung dengan persoalan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan," katanya.