SHARE

Ilustrasi (Net)

CARAPANDANG -  Oleh: Amir Fiqi, Pemerhati Sosial dan Politik

Kunci untuk memenangkan kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) di Indonesia adalah mampu menguasai perolehan suara di tiga provinsi di pulau Jawa, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebab, berdasarkan daftar pemilih tetap yang telah ditetapkan oleh Komisi  Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih di tiga provinsi tersebut sekitar 45 persen dari jumlah daftar pemilih tetap di seluruh Indonesia,  yakni sebanyak 204.807.222 pemilih.

Daftar pemilih tetap dari tiga provinsi tersebut yakni Jawa Barat  35.714.901 pemilih, Jawa Timur 31.402.838 pemilih, dan Jawa Tengah 28.289.413  pemilih. Jika dijumlahkan total pemilih dari tiga provinsi itu sebanyak 95.407.152 pemilih. Sehingga pernyataan Jawa adalah kunci untuk menguasai Indonesia melalui kontestasi pemilu benar adanya.

Maka itu, sangat lah rasional jika masing-masing kandidat dalam kontestasi Pilpres ini akan  fokus serta mencurahkan sebagian besar kekuatannya untuk bagaimana mampu menguasai perolehan di tiga provinsi tersebut. Tentunya tidak juga mengeyampingkan perolehan suara di provinsi-provinsi yang lain, ini juga harus diperhatikan untuk memperkuat kemenangan.

Cak Imin pilihan tetap

Bergabungnya PKB dalam koalisi perubahan sangat mengejutkan. Sebab hal ini tidak pernah terbayangkan bahwa partai yang lahir dari rahim NU akan bergabung dalam barisan koalisi memenangkan Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Itulah politik yang tidak mungkin menjadi mungkin selama memiliki kepentingan yang sama.

Tapi, keputusan cepat yang dilakukan oleh Ketua Umum NasDem, Surya Paloh dengan memasangkan Anies Baswedan dengan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin  merupakan pilihan yang tepat. Meski ada sebagian pihak yang merasa kecewa dengan lahirnya pasangan Anies-Muhaimin,  itu hal yang sangat rasional sebab mereka menganggap PKB adalah bagian pemerintah rezim Jokowi yang akan menghambat perjuangan untuk perubahan dan perbaikan yang selama ini menjadi "jualan" Anies bersama barisan koalisi perubahan.

Tapi untuk memenangkan pertarungan Pilpres 2024 dengan masuknya PKB menjadi energi yang luar biasa untuk menghantarkan Anies menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia. Inilah jalan yang memang harus ditempuh oleh Surya Paloh sebagai strategi yang cerdas. 

Mengapa strategi harus diambil meski harus menyakiti kawan lama koalisi, yaitu Partai Demokrat? sebab, sebelum PKB bergabung elektabilitas Anies di dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur tak kunjung meningkat. Hal ini disebabkan ketiga partai yang bergabung dalam koalisi perubahan yaitu NasDem, PKS dan Demokrat  memiliki klaster pemilih yang sama yaitu sama-sama memiliki basis pemilih yang kuat hanya di wilayah Jawa Barat. Jika dipaksakan maka untuk menghantar Anies sebagai pemenang sangat sulit.

Selain itu, jika melihat kembali pada Pilpres 2019, Prabowo juga memiliki suara yang besar di wilayah Jawa Barat. Sehingga bisa disimpulkan maka suara Anies dan Prabowo akan berbagi di Provinsi itu. Sehingga ini sangat merugikan bagi Anies, maka perlu tambahan suara dari provinsi lain yang memiliki jumlah pemilih yang besar, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan dengan memasangkan Cak Imin inilah kunci untuk mengamankan suara Anies di dua provinsi tersebut. Maka, memilih Cak Imin merupakan langkah yang tepat.

Seperti diketahui bahwa PKB memiliki basis massa yang kuat dari NU sehingga partai yang didirikan oleh Gusdur ini selalu unggul di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat dari peroleh suara pada Pileg 2019 PKB menempati peringkat keempat dengan perolehan suara sebanyak 13.570.097 atau 9,69 persen. Dan mayoritas suara itu diperoleh dari kedua provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Meski ada yang berpendapat  bahwa memasangkan Cak Imin adalah keputusan yang salah. Alasan ini berdasarkan pada hasil sejumlah lembaga survei  yang menyatakan bahwa elektabilitasnya Cak Imin sangat rendah tidak sampai 5 persen. Menurut hemat penulis alasan tersebut tidak lah kuat, sebab jika berkaca pada Pilpres 2019 elektabilitas KH. Maaruf Amin juga  tidak pernah diperhitungkan bahkan tidak pernah masuk  dalam radar lembaga survey. Tapi, hasilnya sangat mengejutkan, dia mampu membatu Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2019 dengan  mengalahkan Prabowo-Sandi.

Maka itu, ini bisa menjadi bukti bahwa kekuatan massa NU menjadi kunci dan sangat menentukan. Sehingga Prabowo-Sandi kalah telak di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Jika Prabowo-Sandi mampu menahan imbang di kedua propinsi tersebut, hasilnya pasti akan berbeda. Dengan suara Prabowo-Sandi yang unggul di sejumlah wilayah di luar pulau Jawa dan ditambah kemenangannya di Jawa Barat dan Banten  maka bisa menghantaran pasangan ini memenangkan Pilpres 2019.

Suara NU terbelah?

Setelah NasDem mengusung Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon wakil presiden gelombang penolakan dari internal NU bermunculan. Yang patut menjadi catatan penting adalah penolakan dari Ketua PBNU, Yeny Wahid (anak Gus Dur) dan Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama).

Lantas apakah penolakan tersebut akan memecah suara NU pada Pilpres 2024. Menurut hemat penulis jika itu pun terjadi tidak akan menggerus suara Cak Imin secara signifikan. Hal ini dapat dibuktikan selama dipimpin Muhaimin Iskandar suara PKB tidak tergerus.  Inilah bukti bahwa sosok Muhaimin masih dapat diterima oleh warga Nadhiyin.

Selain itu, meski tidak henti-hentinya Yeny Wahid menuduh Muhaimin telah mengkudeta Gusdur dengan merebut secara paksa PKB, hal ini juga tidak membuat pengikut Gusdur atau Gusdurian meninggalkan PKB. Bahkan,  ada dari sebagian besar Gusdurian tetap  berjuang bersama-sama Muhaimin dan buktinya PKB masih menjadi partai papan atas dengan  menempati peringkat keempat pada Pileg 2019 lalu.

Ajakan  tidak langsung  yang disuarakan oleh Ketua Umum PBNU dan Gus Yaqut agar tidak memilih Cak Imin pun menurut hemat penulis juga tidak akan berdampak signifikan. Pasalnya banyak juga  ulama NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memiliki basis massa yang kuat di akar rumput telah memutuskan berjuang  untuk memenangkan Cak Imin sebagai wakil presiden. Maka, meski suara NU terbelah, mayoritas akan tetap menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Anies-Muhaimin.

Namun, ini akan berubah jika dari dua kandidat capres lainnya yaitu, Ganjar dan Prabowo mengusung kader dari NU. Suara NU akan benar-benar terbelah. Jika ini benar terjadi maka menjadi tantangan besar bagi masing-masing kandidat. Sehingga, Pilpres  kali ini akan menjadi pertarungan yang seru, sebab masing-masing kandidat memiliki kekuatan yang sama-sama kuat.

Maka itu, untuk memenangkan Pilpres 2024 masing-masing kandidat  harus mampu menyakinkan swing voters yang angkanya terbilang besar, kurang lebih sampai  30 persen. Untuk menyakinkan mereka dibutuhkan gagasan-gagasan yang cerdas dan membumi dari masing-masing kandidat. Sebab swing voters mereka adalah pemilih yang lebih mengedankan rasional bukan ikatan emosial atau ikatan organisasi.

Mereka adalah anak-anak muda yang mengharapkan lahirnya pemimpin Indonesia kedepan yang lebih baik dari pemimpin yang sebelumnya. Mereka akan lebih hati-hati dalam memilih, dengan benar-benar mempertimbangkan pilihannya berdasarkan gagasan atau visi-misi dari masing-masing kandidat. Adu gagasan menjadi penantian berharga bagi mereka.

Semoga Pilpres 2024 kaya dengan gagasan dari masing-masing capres. Bukan hanya sibuk memoles diri hanya untuk sekadar pencitraan. Pura-pura menjadi sosok yang religius atau pura –pura menjadi sosok yang  dekat dengan rakyat. SemogaÂ