SHARE

Untuk publik (Wikipedia)

CARAPANDANG - Iduladha dimaknai sebagai pengorbanan. Filosofi tersebut bersifat universal dan everlasting. Bagi pejabat publik, dalam tataran ideal, maka pengorbanan merupakan esensial. Maka sejumlah kisah keteladanan kita dapatkan pada politikus era lampau. Sebut saja Mohammad Hatta dengan kisah mesin jahit dan sepatu Bally. Ada nuansa pengorbanan di sana, untuk publik, untuk republik.

Maka semangat yang ditunjukkan oleh para politikus tersebut sudah selayaknya mampu dihadirkan kembali. Maka adalah menjadi ironi ketika investigasi sebuah majalah misalnya, mengendus ada bisnis yang menguar dan terafiliasi dengan pejabat publik. Sedangkan si pejabat publik tersebut berada di garda terdepan dalam pengelolaan permasalahan tersebut. Ya dia yang turut merumuskan kebijakan publik, ya dia juga dalam skala tertentu ikut berbisnis di ranah tersebut.

Daulat rakyat, atas nama rakyat pun bisa jadi hanya slogan. Sementara di akar rumput bertikai kata dan pendapat, di media sosial menyindir dengan cara halus atau kadang offside, namun para politikus tersebut ternyata mengukuhkan semangat oligarki dan enggan untuk dikritik, dikritisi. Kritik membangun, kritik dengan memberikan solusi, entah mengapa untuk melakukan kritik pun menjadi bimbang takut kena pasal ini-itu. #SemuaBisaKena dalam tagar yang sedang beredar saat-saat ini.

Maka segala kebijakan sudah selayaknya dipertanyakan. Adakah yang menjadi korban? Dan dengan post truth yang ada, bisa jadi kita ikut “menggebuk” si korban itu. Narasi yang dikemas dengan berbagai kanal, kita pun dapat turut arus saja dan ikut “menggebuk” si korban. Padahal bisa jadi di lain kesempatan, kitalah si korban itu.

Momen Iduladha merupakan momentum refleksi, untuk bertanya, wahai pejabat publik apakah kerjamu untuk publik, untuk republik?