SHARE

istimewa

"Namun isu yang muncul kemudian adalah ada 'orang politik yang melarang azan di mushalla, isu yang membuat saya harus memberi klarifikasi," ujar Mahfudz.

Persoalan pengeras suara itu, lanjut dia, menunjukkan bahwa dalam Ummatan Wasathan, diperlukan pemahaman keislaman yang baik, misalnya suatu mushalla dengan speaker yang bersuara kencang itu ada di sebuah kampung yang cuma berisi 20 rumah dengan jarak berjauhan, maka hal itu baik.

"Namun bila kampung itu sudah berisi 200 keluarga dan gang-gang di situ sudah sempit, maka speaker yang kencang justru akan mengganggu sendi-sendi kehidupan. Ini satu contoh, betapa faktor pemahaman keislaman yang baik itu sangat penting," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan menyatakan Islam itu kompatibel dengan nasionalisme, kebangsaan dan demokrasi.

Indonesia, lanjut dia, bisa menjadi contoh bagaimana Islam bisa kompatibel dengan nasionalisme, kebangsaan dan demokrasi.

"Dan sudah saatnya memang, Indonesia berani tampil sebagai pemimpin dunia Islam, di tengah kerusakan yang timbul akibat 'power politics' negara-negara besar di negeri-negeri Muslim seperti Afghanistan, Libya, Suriah, Irak dan Yordania," ujar Imron Cotan.

Dalam kesempatan yang sama, Pengacara sekaligus Politisi PDIP Kapitra Ampera menegaskan, umat pertengahan atau Ummatan Wasathan ini adalah doktrin yang ada dalam ajaran Islam.

Namun, lanjutnya, harus dibedakan antara doktrin beragama dengan perilaku beragama.

"Nah dalam konteks politik, Islam itu tidak bisa menjadi ideologi. Islam itu 'guidance of life'. Islam itu adalah payung ideologi. Sehingga bila Islam itu menjadi ideologi, maka dia akan turun derajatnya," ujar Kapitra.

Halaman :