SHARE

Laskar71

CARAPANDANG.COM - Desa Bantala atau lazim dikenal dengan nama Lewotala, adalah sebuah kampung yang kaya akan tradisi adat dan budayanya. Sejarah Flores Timur mencatat begitu banyak hal tentang desa ini. Sejak zaman kerajaan Larantuka, zaman kolonial Belanda, dan Jepang, sampai pada detik ini.

Lewotala berada dalam wilayah kecamatan Lewolema, yang dijuluki Lewo Kaka (kampung tertua) bagi kampung–kampung lain di wilayah kecamatan Lewolema.

Menyadari akan peran dan catatan sejarah Lewotala ini, maka kaum muda pada generasi sekarang mulai berupaya untuk mengangkat derajat Lewotala. Salah satu strategi yang dibangun adalah membentuk kelompok atau komunitas orang muda, yang mana komunitas ini dituntut untuk peka terhadap segala hal baik bagi kemajuan kampung halamannya.

Laskar SI-DO (Laskar71) misalnya, adalah organisasi kepemudaan yang kemudian menjadi barometer dasar bagi komunitas orang muda lain di Lewotala, dan diharapkan meluas ke jenjang yang lebih tinggi.

Minggu (06/12), Laskar71 menggandeng Narateater di bawah binaan Silvester Petara Hurit, seorang putera Lewotala yang juga pegiat seni teater, dan narasumber Romo Inno Koten, serta bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Bali, menggelar diskusi bersama dengan tema “Proses Kreatif”. Dalam diskusi ini, hadir pula komunitas–komunitas orang muda dari beberapa desa dan kelurahan di Kabupaten Flores Timur.

Diskusi yang berlangsung sekitar 4 jam lamanya, diselingi dengan acara nonton bareng video teater berjudul : “Tanah Tani” karya Narateater dan juga diselingi dengan acara pembacaan puisi, persembahan lagu–lagu dari Laskar71 dan Komunitas Karta Sombaraja Lewolere.

Di awal diskusi Romo Inno Koten seorang Imam katolik, sekaligus pegiat seni teater di Narateater, menceritakan suka dukanya menggeluti bidang seni teater ini.

“Saya akan memberikan sedikit gambaran tentang rancang bangun teater dengan memanfaatkan tradisi lokal. Namun jika memang nantinya kita masuk dalam semacam rimba kerancuan, terjebak dalam sejenis renungan dan refleksi, maka maafkanlah saya, sebab saya tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang khusus perihal teater. Pengalaman saya dalam berkesenian, khususnya dalam dunia teater juga tidak banyak. Lagi pula saya seorang pastor. Tugas saya tentu bukan berteater. Saya cuma bisa memberi renungan dan mengajak orang untuk berlaku baik,” ujarnya.

Lebih lanjut Romo Inno memaparkan bagaimana caranya merancang dan membangun seni teater, dengan memanfaatkan tradisi lokal, tradisi Lamaholot. Menurutnya merancang dan membangun sebuah karya seni teater itu seperti merancang dan membangun sebuah rumah. Siapa  yang merancang, siapa yang membangun, siapa saja yang akan tinggal di dalamnya, butuh berapa kamar, dan lain sebagainya.

Romo Inno membagikan pengalamannya ini, dengan tujuan agar komunitas–komunitas muda mampu mengekspos tradisi dan budaya Lamaholot, menjadi sesuatu yang mungkin nantinya menjadi tambahan penghasilan selaian dari pekerjaan pokok.

Hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Silvester Petara Huri (Bang Sil lebih akrab disapa),  beliau memang lebih tahu dan paham soal teater dan sejarah, serta tradisi lokal Lewotala.

Tentang orang muda, Bang Sil berpesan jangan tunggu digerakkan, baru mau bergerak. Orang muda zaman ini, dituntut untuk kreatif, berinovasi, ciptakan hal – hal baru, juga ciptakan sejarah baru generasi sekarang.

“Jika mau buat sesuatu, jangan dulu pikirkan soal uang (ongkos). Kita semua memang tidak memiliki uang, tetapi jangan dulu kejar uang. Karena sesungguhnya uang kita adalah skill atau kemampuan kita. Ketika skill kita telah dibentuk dan dipersiapkan dengan baik, kemudian telah siap untuk ditunjukan kepada orang lain, maka percayalah, uang yang akan mengejar kita,” ujarnya.

Selain menjadi pegiat seni teater, Bang Sil juga adalah seorang kreator Festival Nubun Tawa. Bang sil mengatakan bahwa sesungguhnya Festival Nubun Tawa adalah bukan ide kreatif Pemerintah Daerah. Sebagai orang Lamaholot, yang tidak ingin kebudayaannya terpendam lalu kemudian memudar, maka munculah ide menyelenggarakan Festival tersebut.

Ayah dua orang anak ini juga bercerita tentang suka dukanya mengantar seluruh anggota Narateater untuk pentas di Jakarta, dan di beberapa kota di Indonesia, yang pada awalnya hanya bermodalkan teater yang mereka miliki (tanpa modal uang yang banyak).

Baru- baru ini, Narateater menyelenggarakan lomba Nyanyian etnik Lamaholot secara Daring, terselenggara berkat kerja sama dengan BPNB Provinsi  Bali. Ada 7 peserta (kelompok) yang berpartisipasi, dan keluar sebagai pemenangnya adalah Karang Taruna (Karta) Sombaraja Kelurahan Lewolere. Sebagai bahan refleksi, kenapa harus bekerja sama dengan BNPB Provinsi Bali? Kenapa Lewotala yang katanya adalah desa dengan seribu budaya dan tradisi adat, kaya akan nyanyian- nyanyian etnik, tetapi Lewolere lah yang menjadi juara lomba? Maka, proses kreatif perlu ditanamkan dari bawah, dari dalam komunitas orang muda, orang yang ketika gagal dan mau mencoba lagi, lagi dan lagi.

Dalam kegiatan diskusi ini, sepertinya komunitas orang muda Laskar71 sedang melatih diri, untuk berhadapan dan bertemu tamu dari luar sendirian. Tak satupun aparat desa yang menemaninya, walau demikian Kepala Desa sempat hadir membuka kegiatan diskusi. Ucapan profisiat dan selamat dari tetamu yang hadir menguatkan mereka, Laskar71.

Di akhir kegiatan diskusi, ketika ditemui pendiri Narateater berpesan jangan tunggu ada tumpangan, baru mau bergerak, jangan tunggu ada motor baru mau jalan. “Kalian Laskar71, harus sedikit sombong, bahwa kamu bisa sendiri.”. 

Tags
SHARE